Rabu, 04 Agustus 2010

kehilangan

Aku prihatin dengan peristiwa yang menimpamu, sungguh sangat prihatin. Ini musibah yang kesekian kali yang kaualami. Di berbagai tempat yang kita singgahi, kau selalu mengalaminya. Dulu, kau pernah bilang, "Selama ini aku tak pernah ceroboh. Aku selalu hati-hati dan teliti. Kau yang selalu ceroboh dan lalai menyimpan barang-barangmu. tapi kenapa aku yang selalu kehilangan barang-barangku?" Waktu itu aku hanya senyum dalam diam, tak tahu harus berkata apa, karena begitulah adanya. Kuakui tingkat kecerobohanku memang sangat parah. Namun, tentu saja tidak separah Mr. Bean atau Donald Bebek. Sebenarnya aku tak pernah mengeluh dengan kecerobohan ini sekali pun aku sering dirugikan tak terhitung banyaknya. Dengan kekonyolanku yang khas, aneh, atau apa pun namanya, aku menikmati itu, menikmati kecerobohan yang sudah lewat. Meski saat mengalaminya, rasanya campur aduk tak karuan, panik, kuatir, cemas, takut, jengkel, bahkan sedih yang dalam. Setelah itu, aku merasa hari-hariku meninggalkan banyak kesan. KEsan yang penuh warna. Kesan yang membuat hidupku punya banyak cerita. AKhirnya kusimpulkan sendiri bahwa hidupku adalah kumpulan trial and error. Menarik tapi penuh tantangan. Tak selalu berakhir bahagia tapi tak perlu diiringi keluh kesah dan air mata.
Sekali pun demikian, aku tak pernah kehilangan barang yang berarti. Sepertinya sih begitu kalau tidak lupa. Maklum, banyak sekali yang terjadi sehingga beberapa peristiwa kurang menyenangkan menghilang dari ingatanku. Yang sering terjadi dan selalu kuingat adalah banyak barang yang rusak karena kecerobohanku. Karena itu, kau menyebut tanganku panas. Entah sudah berapa barang yang rusak karena aku yang sok tahu dan lalai. Sok tahu dan lalai bagian dari kecerobohan bukan?Hm..aku pernah kehilangan dompet waktu kelas 1 SMA dulu, kukira dari kejadian itulah, hal-hal buruk kualami selama setahun aku di kelas 1. Setelah itu, aku tak pernah kehilangan sandal, sepatu, dompet, atau barang-barang yang kuanggap penting lainnya. Yang masih membekas hingga hari ini. Ketika rumah kita dimasuki pencuri bberapa tahun lalu di Ternate, kukira itulah awal mula hidupku diwarnai kehilangan.
Kehilangan yang tak bisa dianggap sebagai peristiwa biasa karena barang yang pindah dari tempat seharusnya, yang bergeser dari pemilik sahnya. Tapi kehilangan dalam arti yang lebih luas. Dengan kenaifanku, aku melihat kehilangan itu sebagai teguran. Musibah itu datang ketika konflik menggoyahkan perahu kecil kami. Aku tak tahu apakah kau merenungi konflik itu seperti apa yang kurasakan?kehilangan yang lebih dari satu kali itu terjadi kala konflik perahu kita tak kunjung selesai. Dalam hati, aku cenderung menyalahkanmu atas peristiwa itu. Kau yang tak pernah mau mendengar, menutup pintu-pintu hati, hingga harus ada tragedi yang mungkin bisa membukanya terbuka lebar-lebar. Sayangnya, kukira itu pun tak mempan.
Hari ini, kehilangan itu terulang lagi. Kembali ketika perahu kita sdh oleng dan separuh bagiannya tenggelam. Aku tak punya kata hiburan buatmu karena kita bukan apa-apa, walaupun hanya teman, kita bukan itu. Aku simpati, prihatin, dan ikut sedih. Tidak seperti di masa lalu, aku tak lagi menyalahkanmu -meski seharusnya di masa itu aku juga tak boleh melakukannya- tak lagi menghakimi bahwa kehilangan itu terjadi akibat kejahatanmu, kekerasan hatimu, atau kekasaranmu. Aku takkan melakukan itu meski aku belum bisa melepas negativitas yang masih meringkuk nyaman di dalam hati. Aku juga tak bersih dari kesalahan. Aku berperan dalam sebab yang mengakibatkan perahu kita oleng dan tenggelam sebagian ini.
Semoga everything gonna be OK, meski aku -karena kau tak menginginkannya- tak akan ada untukmu lagi untuk selamanya...