Sabtu, 29 Januari 2011

Ternyata..

Gara-gara harus cari akte kelahiran lintang, ngga sengaja kubaca-baca lagi tulisanku di masa lalu. Aduuh, ampun deh ternyata kacau banget sintaksis dan morfologinya. malu aku mengklaim diriku pernah jadi editor balairung. Tulisan-tulisan itu ternyata hanya kuedit dari perspektif nilai rasanya. enak dibaca atau nggak, itu aja. Pdahal sekilas saja kubaca, haduuh..ini tulisan kok juelek banget. Teknik menulis yang payah dan baru kusadari setelah menjadi guru bahasa Indonesia.

Ya, selalu ada terang sesudah gelap. MUngkin ini jalan yang Allah tunjukkan buatku dalam rangka mewujudkan cita-citaku sebagai penulis. Ya, meski di lapangan teknik penulisan tidak melulu bersandarkan pada morfologi dan sintaksis yang saklek, setidaknya pengetahuanku yang sudah jauh lebih baik tentang hal ini bisa membantuku menciptakan tulisan yang lebih berisi. Pe-erku sekarang hanya meluangkan waktu, memaksa diriku menulis tentang apa saja. Toh, ide-ide inspiratif itu sudah menari-nari di kepalaku. IDe yang datang dan pergi, yang muncul dan hilang begitu saja. Itulah kenapa aku eprlu netbook,itulah alasan utama kenapa aku membutuhkan si mungil. Supaya aku bisa menulis kapan pun. Sayangnya aku sering tak berdaya saat berhadapan dengan si malas.Hufh..hush..hush..ayo pergi jin malas..

Memikirkan tulisan membuatku jadi semangat lagi, energi negatif yang tadi muncul sedikit mulai terkikis. Alhamdulillah, ada "berharap lebih" yang layak untuk diharapkan. Setidaknya hidupku masih tetap indah, tetap meriah, meski kalian berdua kusimpan ke tempat sampah.

berharap lebih

lagi-lagi aku berharap lebih pada orang-orang yang salah. ini kesekian kalinya bangunan itu roboh lagi. kembali menjadi jengkel, menjadi marah, menjadi benci, menjadi tak berdaya lagi. Ini kali kesekian aku menyesali kebodohan, kekonyolan, dua hal yang sering membuat ulu hatiku sakit atau terbangun kaget lalu sesak nafas. Ini memang keputusan benar yang harus diambil. benar yang baik, kuharap begitu. Benar yang memaksa hatiku bekerja lebih keras untuk ikhlas, untuk menerima, memaklumi, dan memahami. Benar yang memaksa hatiku untuk lebih rajin lagi belajar membangun kesadaran, memaksa hatiku untuk berusaha lebih gigih menciptakan kestabilan emosi dan senantiasa mengingatkan hati agar taklagi berharap lebih.

Lalu apa yang dimaksud dengan berharap sekadarnya?berharap yang seadanya?berharap yang biasa-biasa saja? hm..mungkin berarti berharap yang sesuai realitas atau mungkin tak perlu lagi berharap. yah, meski berharap selalu berarti positif menurut temanku yang psikolog, tapi di titik ini, berharap pada dua orang itu berarti membuka pintu untuk negativitas. Oh tidak!aku tak mau lagi menjamunya. Ternyata keras hati menjadi solusi yang lebih baik dibandingkan melembutkan hati agar semua pihak tak ada yang ditinggalkan, tak ada yang disakiti.

Aku bukan wonder woman yang bisa mengabaikan kecewa, dan patah hati. Sebetulnya aku hanya ingin berhubungan baik, menjadi kawan baik, menjadi sahabat untuk siapa saja. Namun, ada kalanya niat semcam itu tak selamanya bisa diterima, tak selamanya mendapat input yang bagus seperti yang diperkirakan sebelumnya. Ya sudahlah, que sera sera..aku ikut aturan main kalian deh..seperlunya, secukupnya.

Bahkan, lebih baik jika melupakan..ya melepaskan ingatan, melepaskan harapan..berarti melupakan. meski kenangan itu berlipat jumlahnya..